“Kita dapat menjadi
manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya”
(R.A.
Kartini, Agustus 1900)
HAL Apa yang bisa
direnungkan dan dimaknai oleh para perempuan jaman sekarang ini, dari sepenggal
kalimat yang ditulis oleh Kartini di atas? Yaitu menjadi manusia sepenuhnya,
namun tetap menjadi wanita seutuhnya.
Kartini
dikenal sebagai tokoh yang mengangkat harkat martabat perempuan Indonesia.
Memperjuangkan hak-hak seorang perempuan untuk mendapat pendidikan yang layak,
bebas menimba ilmu pengetahuan, serta bisa bekerja dan berkarya.
Jika
kita maknai surat Kartini pada penggalan pertama kalimat itu, Kartini
menginginkan para perempuan bisa menjadi manusia sepenuhnya. Maksudnya, menjadi
sosok perempuan yang layak mendapatkan hak-haknya. Menjadi perempuan yang
seharusnya pintar, berbudi dan mandiri.
“Tanpa
berhenti menjadi wanita sepenuhnya”. Di sini Kartini menegaskan perempuan
tidaklah harus menjadi sesosok lelaki untuk mendapatkan apa yang menjadi
haknya. Jadilah sosok perempuan apa adanya. Sosok yang lemah lembut, berbudi
pekerti luhur, bertanggung jawab terhadap rumah tangganya, sebagai sosok ibu
bagi anak-anaknya, dan juga sebagai kekasih hati bagi suaminya.
Kartini
berharap, perempuan di negeri ini bisa mendapatkan haknya sebagai manusia yang
layak. Tanpa harus ada batasan gender dan sebagainya. Perempuan sudah selayaknya
bekerja sesuai dengan kemampuannya, berkarya sebisanya, namun juga tak lepas
dari tanggung jawab sebagai sesosok ibu di dalam rumah tangganya kelak.
“Pergilah, laksanakan cita-citamu. Bekerjalah
untuk hari depan,” tulis Kartini dalam suratnya kepada Nyonya Abendon, 4
September 1901. Puluhan tahun yang lalu, Kartini sudah menegaskan dan
menganjurkan kepada perempuan, untuk bisa menggapai cita-citanya setinggi
langit. Meski begitu, emansipasi wanita janganlah diterjemahkan sebagai
kebebasan yang salah kaprah. Emansipasi bukanberarti harusmengalahkan laki-laki
dalam segala hal. Dan juga, bukan berarti harus bebas berbuat seperti yang
diperbuat oleh lelaki
Kartini menginginkan perempuan yang bersikap
sesuai porsinya, dan bisa menempatkan posisinya sebagaimana fitrahnya seorang
perempuan. “Alangkah bahagianya laki-laki, bila isterinya bukan hanya menjadi
pengurus rumah tangganya dan ibu anak-anaknya saja, melainkan juga jadi
sahabatnya, yang menaruh minat akan pekerjaannya, menghayatinya bersama
suaminya.” (Kartini, 4 Oktober 1902).
Perempuan
sejati, harus memikul tanggung jawab sebagai seorang perempuan. Perempuan juga
berhak mendapatkan pendidikan yang layak, dan perlakuan yang sewajarnya.
Dalam
surat Kartini yang ditulisnya kepada Professor Anton, 4 Oktober 1901, Kartini
menulis, “Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak
wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi
saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang
besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya
yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya, menjadi ibu, pendidik manusia
yang pertama-tama”.
Simak
juga surat Kartini lainnya. “Bukan terhadap kaum pria kami melancarkan peperangan.
Tetapi terhadap anggapan kuno, adat, yang tidak lagi mendatangkan kebajikan
bagi Jawa kami di kemudian hari, dan juga dengan beberapa orang lain kami akan
bersama-sama jadi pelopornya.” (Kartini, 10 Juni 1902)
Di
surat ini, Kartini tidak ingin kaum perempuan bersaing dengan lelaki atau
menjadi sosok seorang lelaki, tetapi tetaplah sebagai perempuan yang handal
mengerjakan kewajibannya. Perempuan harus bisa menimba ilmu pengetahuan
layaknya lelaki dan harus selalu menjaga sikap dan tingkah lakunya, agar
menjadi sosok perempuan yang pintar dan berbudi pekerti luhur.
Pintar
saja belumlah cukup, dan berbudi saja pun belumlah cukup. Simak lagi apa kata
Kartini dalam suratnya yang ditulis pada tahun 1900. “Tetapi apakah kecerdasan
pikiran itu sudah berarti segala-galanya? Bila orang
hendaksungguh-sungguhmemajukan peradaban, maka kecerdasan pikiran dan
pertumbuhan budi harus samasama dimajukan. Salah satu sifat orang Jawa yang
tidak baik, yang kalau perlu dibasmi ialah sifat gila sanjungan...” (Kartini,
1900)
Ternyata
menurut Kartini, perempuan harus bisa mengkombinasikan antara kepintaran,
tanggung jawab dan juga budi pekerti. Bahkan pada potongan kalimat terakhir di
atas, Kartini menganjurkan kepada perempuan untuk menjadi sosok yang selalu
rendah hati.
Itu
sejalan dengan surat Kartini yang ditulisnya kepada Stella, 18 Agustus 1899.
“Bagi saya hanya ada dua macam keningratan, keningratan fikiran dan keningratan
budi (akhlak). Tidak ada manusia yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi
saya dari pada melihat orangmembanggakanasalketurunannya. Apakah berarti sudah
beramal sholih orang yang bergelar macam Graaf atau Baron? Tidaklah dapat
dimengerti oleh pikiranku yang picik ini,…”
“Panggil
aku Kartini saja, itulah namaku,” tulis Kartini dalam suratnya kepada Estelle
Zeehandelaar, 25 Mei 1899. Tergambar jelas, Kartini memiliki sikap yang rendah
hati meski ia berdarah biru, dan sikap inilah yang diinginkannya dan
diperjuangkannya untuk kaum perempuan negeri ini.
“Bagi
saya hanya dua macam kebangsawanan, bangsawan jiwa dan bangsawan budi. Pada
pikiran saya tidak ada yang lebih gila, lebih bodoh daripadamelihat orang-orang
yang membanggakan apa yang disebut “keturunan bangsawan” itu. (Kartini, 18
Agustus 1899).
Selain
itu, Kartini berharap perempuan memiliki hati yang teguh, kesabaran yang tinggi
dan pintar mengendalikan diri. Dalam suratnya yang ditulis pada 15 Agustus
1902, Kartini menegaskan, “Tiada terang yang tiada didahului oleh gelap.
Mengendalikan diri adalah kemenangan jiwa atas tubuh, kesunyian adalah jalan ke
arah pemikiran.”
Perempuan
harus selalu optimis dalam hidupnya. Perempuan jangan punya sikap cepat
menyerah jika mengalami kesulitan dalam hidupnya. Perempuan harus punya sikap
optimis, pintar membaca situasi, cerdik mencari jalan keluar serta yakin bahwa setiapmasalah
pasti ada jalan keluarnya. “Hidup ituakan indah dan berbahagia apabila dalam
kegelapan kita melihat cahaya terang,” ujar Kartini dalam surat lainnya.
Come
on ladies…
Bangkitlahdanperbaiki
diri. Tokoh kebangkitan perempuan negeri ini telah berjuang untuk kemajuan
kita. So, jadilah sosok perempuan yang pintar, tegar, lemah lembut, berbudi
pekerti luhur dan bertanggung jawab. “Dan bila pulau Jawa mempunyai ibu-ibu
yangcakapdanpandai,makaperadaban satu bangsa hanyalah soal waktu saja,”
demikianharapanKartini terhadapkartinikartini di negeri ini.
“Habis
malam terbitlah terang. Habis badai datanglah damai. Habis juang sampailah
menang. Habis duka, tibalah suka.” (Kartini, 15 Agustus 1902).
Sumber: perempuan.com edisi April 2013 #week 3 hal. 10-14
0 comments:
Post a Comment